Header Ads

Bahaya Hadits Palsu dan Hukum Menyebarkannya

Tersebarnya hadits-hadits palsu di tengah kaum muslimin termasuk musibah terbesar yang akan merusak agama dan keyakinan mereka. Karena mayoritas dari hadits-hadits tersebut mengandung perkara yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang lurus, bahkan di antaranya ada yang jelas-jelas berisi kekufuran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[1].

Musibah ini lebih diperparah kerusakannya dengan kebodohan mayoritas kaum muslimin terhadap agama mereka, sehingga mereka mudah terpengaruh dan menerima semua ucapan yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan kepada mereka, tanpa berusaha mencari kejelasan tentang mana hadits yang shahih dan mana yang lemah bahkan palsu. Tentu saja ini akan berakibat fatal, karena nantinya kerusakan yang terdapat pada hadits-hadits palsu tersebut akan diterima dan diyakini oleh mereka sebagai kebenaran.

Oleh karena itulah, para ulama Ahli hadits dari dulu sampai sekarang, mereka selalu berusaha menjelaskan kedudukan hadits-hadits yang tersebar di kalangan kaum muslimin, benar atau tidaknya penisbatan hadits-hadits tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai bukti penjagaan Allah Ta’ala terhadap kemurnian syariat Islam sampai di akhir zaman. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

{إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ}


“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.” (QS Al-Hijr: 9)[2].

Penjagaan terhadap Alquran dalam ayat ini mencakup penjagaan terhadap hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga kemurnian Alquran pada lafazh (teks) dan kandungan maknanya[3], sedangkan kandungan makna Alquran yang benar dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,

{وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ}


“Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menjelaskan kepada umat manusia (kandungan makna Alquran) yang telah diturunkan kepada mereka, supaya mereka memikirkan.” (QS An-Nahl: 44).

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sunnah (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah penjabar dan penjelas makna Alquran[4].”

Imam Muhammad bin Ibrahim Al-Wazir, ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata, “Firman Allah ini mengandung konsekuensi bahwa syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan selalu terjaga dan sunnah (hadits-hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan senantiasa terpelihara[5].”

Maka dari itu, imam besar penghafal hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Atbaa’ut taabi’iin yang terkenal, Abdullah bin Al-Mubarak, ketika beliau ditanya tentang banyaknya hadits-hadits palsu yang tersebar, beliau menjawab, “Para ulama yang menekuni hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (mencurahkan) hidup mereka untuk (meneliti dan menjelaskan) hadits-hadits tersebut.” Kemudian beliau membaca ayat di atas[6].

Para ulama tersebut melakukan semua itu dalam rangka melaksanakan kewajiban mereka menasihati kaum muslimin untuk menjauhi segala keburukan yang akan merusak agama mereka. Termasuk dalam hal ini adalah ikut serta dalam meyebarkan hadits-hadits yang tidak benar penisbatannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ini termasuk perbuatan dosa yang paling besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sama dengan berdusta atas nama selain beliau, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya berdusta atas (nama)ku tidak sama dengan berdusta atas (nama) orang lain, barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka[7].”

Berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menetapkan ketentuan syariat yang tidak diizinkan oleh Allah Ta’ala. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

{أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ}


“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (selain Allah Subhanahu wa Ta’ala) yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah.” (QS Asy-Syuura: 21).

Imam as-Sakhawi berkata, “Sesungguhnya berdusta atas (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sama dengan berdusta atas (nama) selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan manusia, sehingga para ulama (ahli hadits) yang memiliki ilmu yang mendalam telah bersepakat (mengatakan) bahwa berdusta atas (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perbutan dosa yang paling besar, dan beberapa imam dan ulama besar Islam menyatakan dengan tegas bahwa orang yang melakukan perbuatan ini tidak diterima taubatnya, bahkan syaikh Abu Muhammad Al-Juwaini (berpendapat) sangat keras (dalam masalah ini) sehingga beliau mengkafirkan orang yang melakukan perbuatan ini serta memperingatkan (dengan keras) akan fitnah dan bahayanya[8].”

Ancaman dalam hadits di atas juga berlaku bagi orang yang selalu menukil dan menyebarkan semua hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa berusaha mencari kejelasan mana hadits yang benar dan mana yang tidak benar, karena tentu saja tidak semua hadits yang didengar atau dibacanya shahih (benar penisbatannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahkan tidak tertutup kemungkinan banyak di antaranya yang lemah atau palsu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Cukuplah seseorang (dinilai) berdusta jika dia menceritakan semua yang didengarnya[9].” (Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab Silsilatul Ahaadiitsidh Dha’iifati wal Maudhuu’ah (1/49).

Oleh karena itu, imam Ibnu Hibban Al-Busti dalam kitab Shahih Ibnu Hibban[10] mencantumkan pasal khusus untuk menjelaskan makna ancaman dalam hadist di atas, yaitu: Pasal: penjelasan (tentang) diharuskannya masuk neraka bagi orang yang menisbatkan suatu (perkataan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal dia tidak mengetahui keshahihan (benarnya penisbatan) hadits tersebut.

Kemudian imam Ibnu Hibban membawakan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad beliau, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkata atas (nama) ku (dengan) sesuatu yang tidak pernah aku ucapkan maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka”. Hadits ini dinyatakan hasan oleh syaikh Al-Albani[11].

Setelah itu beliau juga membawakan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad beliau, dari Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyampaikan sebuah hadits dariku yang telah diketahui bahwa hadits tersebut adalah dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh imam Muslim dalam muadimah kitab Shahih Muslim (1/7).

Faktor-faktor yang kami sebutkan di atas itulah yang mendorong kami untuk mencantumkan rubrik baru tentang hadits-hadits palsu yang tersebar di masyarakat kita, beserta penjelasan ringkas tentang perawi yang tertuduh memalsukan hadits tersebut, nukilan dari para ulama ahli hadits yang menghukuminya sebagai hadits palsu, dan keburukan yang dikandung dalam makna hadits tersebut. Dengan harapan semoga ini semua menjadi nasehat bagi kaum muslimin agar mereka hanya mengambil pemahaman agama Islam yang lurus ini dari sumber yang dijamin kemurniannya, yaitu Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar dari penjelasan para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah.

Hadits pertama

(حمل العصا علامة المؤمن وسنّة الأنبياء)


“Membawa tongkat adalah ciri orang yang beriman dan sunnah para Nabi.”

Hadits ini dikeluarkan oleh imam Abu Syujaa’ ad-Dailami dalam Musnadul Firdaus (2/97 – Zahrul Firdaus) dengan sanad beliau dari Anas bin Malik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits ini adalah hadits palsu, dalam sanadnya ada perawi yang bernama Yahya bin Hasyim Al-Gassaani, dia dinyatakan sebagai pendusta oleh imam Yahya bin Ma’in[12]. Imam Ibnu ‘Adi berkata, “Dia suka memalsukan dan mencuri hadits”[13].

Hadist ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh imam Al-Munawi[14] dan syaikh Al-Albani[15].

Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, dikeluarkan oleh imam Ibnu ‘Adi dalam kitab Al-Kaamil (6/372). Hadits ini juga palsu, dalam sanadnya ada perawi yang bernama Mu’alla bin Hilal Ath-Thahhaan Al-Kuufi, Imam Ahmad berkata tentangnya, “Haditsnya ditinggalkan, haditsnya palsu dan dusta.” Ibnu ‘Adi berkata, “Dia termasuk kumpulan orang-orang yang memalsukan hadits[16].”

Hadits kedua

(نية المؤمن خير من عمله ونية الفاجر شر من عمله)


“Niat orang mukmin lebih baik dari amal perbuatannya dan niat orang yang rusak (imannya) lebih buruk dari amal perbuatannya.”

Hadits ini dikeluarkan oleh imam Al-Qudha’i dalam Musnad Asy-Syihaab (no. 141) dengan sanadnya dari Nawwas bin Sam’an radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits ini adalah hadits palsu, dalam sanadnya ada perawi yang bernama ‘Utsman bin Abdillah asy-Syaami, Imam Ibnu ‘Adi berkata tentangnya, “Dia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari perawi-perawi terpercaya”. Imam ad-Daaraquthni berkata, “Haditsnya ditinggalkan, dia membuat hadits-hadits batil (palsu) dari syaikh-syaikh yang terpercaya[17].”

Hadist ini dihukumi sebagai hadits palsu syaikh Al-Albani[18].

Hadits yang semakna dengan hadits di atas juga diriwayatkan dari beberapa shahabat lainnya, akan tetapi semua riwayat tersebut lemah bahkan sebagiannya sangat lemah, sehingga tidak mungkin dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[19].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


Kota Kendari, 9 Jumadal ula 1432 H.

Diambil dari Tulisan: Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthani,M.A Hafizhahullah (www.manisnyaiman.com)

[1] Lihat kitab Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah (1/47).
[2] Lihat keterangan imam Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Maudhuu’aat (1/31).
[3] Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 429).
[4] Kitab “Ushuulus sunnah” (hal. 2).
[5] Kitab “ar-Raudhul baasim” (hal. 33).
[6] Dinukil oleh imam Ibnul Jauzi dalam kitab “al-Maudhuu’aat” (1/46) dan as-Suyuuthi dalam kitab “Tadriibur raawi” (1/282).
[7] HR al-Bukhari (no. 1229) dan Muslim (no. 4).
[8] Kitab Al-Maqaashidul hasanah (hal. 36).
[9] HR. Muslim (no. 5).
[10] (1/210 – Al-Ihsaan).
[11] Dalam kitab Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah (1/50).
[12] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam kitab Miizaanul i’tidaal (7/224).
[13] Kitab Al-Kaamil fi Dhu’afa-ir Rijaal (7/251).
[14] Dalam kitab Faidhul Qadiir (3/397).
[15] Dalam kitab Silsilatul Ahaadiitsidh Dha’iifati wal Maudhuu’ah (no. 535).
[16] Kitab Al-Kaamil fi Dhu’afa-ir rijaal (6/371-372).
[17] Lihat kitab “Lisaanul miizaan” (4/143-145).
[18] Dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (no. 2789).
[19] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (6/303-305) dan (5/244-245).

 

No comments

Powered by Blogger.