Header Ads

Ringkasan Kaidah-kaidah dalam Mengimani Sifat-sifat Allah Ta’ala

Ringkasan Kaidah-kaidah dalam Mengimani Sifat-sifat Allah Ta’ala 

Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray, Lc hafidzahullah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Kaidah Pertama:
أن من الإيمان بالله الإيمان بما وصف به نفسه.
“Bahwa termasuk keimanan kepada Allah adalah mengimani sifat Allah yang Dia sifatkan untuk diri-Nya.”
Kaidah Kedua:
أن صفات الله عز وجل من الأمور الغيبية، والواجب على الإنسان نحو الأمور الغيبية: أن يؤمن بها على ما جاءت دون أن يرجع إلى شيء سوى النصوص.
“Bahwa sifat-sifat Allah termasuk perkara ghaib, sedang kewajiban manusia terhadap perkara ghaib adalah mengimaninya berdasarkan dalil, tanpa bersandar pada sesuatu apa pun selain nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Kaidah Ketiga:
أننا لا نصف الله تعالى بما لم يصف به نفسه.
“Bahwa kita tidak boleh mensifatkan Allah ta’ala, dengan sifat yang tidak Dia sifatkan untuk diri-Nya.”
Kaidah Keempat:
وجوب إجراء النصوص الواردة في الكتاب والسنة على ظاهرها، لا نتعداها.
“Wajib membiarkan nash-nash (tentang sifat Allah ta’ala) yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai zhahir-nya, kita tidak boleh melampaui batas terhadapnya (dengan mentakwilnya tanpa dalil).”
Kaidah Kelima:
عموم كلام المؤلف يشمل كل ما وصف الله به نفسه من الصفات الذاتية المعنوية والخبرية والصفات الفعلية.
“Keumuman ucapan Penulis (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah) mencakup semua sifat yang Allah sifatkan untuk diri-Nya, baik sifat dzatiyyah ma’nawiyah dan khabariyyah, maupun sifat fi’liyyah.”
Penjelasan:
• SIFAT ALLAH TERBAGI DUA: SIFAT DZATIYYAH DAN FI’LIYYAH.
• MAKNA SIFAT DZATIYYAH:
الصفات الذاتية هي التي لم يزل ولا يزال متصفاً بها
“SIFAT-SIFAT DZATIYYAH (YANG TIDAK PERNAH TERPISAH DENGAN DZAT-NYA) ADALAH YANG SENANTIASA DAN SELAMANYA ALLAH BERSIFAT DENGANNYA.”
PEMBAGIAN SIFAT DZATIYYAH:
PERTAMA: SIFAT DZATIYYAH MA’NAWIYYAH, YAITU SIFAT-SIFAT YANG BERDASARKAN DALIL DAN DAPAT DIKETAHUI BERDASARKAN AKAL. CONTOHNYA: SIFAT MAHA HIDUP, MAHA BERILMU, MAHA MAMPU, MAHA HIKMAH DAN YANG SEMISALNYA.
KEDUA: SIFAT DZATIYYAH KHABARIYYAH, YAITU SIFAT-SIFAT YANG HANYA DAPAT DIKETAHUI BERDASARKAN DALIL, TIDAK DAPAT DIKETAHUI BERDASARKAN AKAL. CONTOHNYA: SIFAT DUA TANGAN, WAJAH, DUA MATA DAN YANG SEMISALNYA.
• MAKNA SIFAT FI’LIYYAH:
الصفات الفعلية هي الصفات المتعلقة بمشيئته
“SIFAT-SIFAT FI’LIYYAH (YANG TERKAIT DENGAN PERBUATAN) ADALAH SIFAT-SIFAT YANG TERKAIT DENGAN KEHENDAK ALLAH TA’ALA.”
PEMBAGIAN SIFAT FI’LIYYAH:
PERTAMA: SIFAT FI’LIYYAH YANG MEMILIKI SEBAB YANG DAPAT DIKETAHUI MAKHLUK, CONTOHNYA: SIFAT MERIDHOI, ALLAH TA’ALA TIDAKLAH MERIDHOI KECUALI KARENA ADA SEBABNYA, SEBAGAIMANA FIRMAN-NYA,
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“JIKA KAMU KAFIR, MAKA SESUNGGUHNYA ALLAH TIDAK MEMERLUKAN (IMAN) MU DAN DIA TIDAK MERIDAI KEKAFIRAN BAGI HAMBA-NYA; DAN JIKA KAMU BERSYUKUR, NISCAYA DIA MERIDAI BAGIMU KESYUKURANMU ITU.” [AZ-ZUMAR: 7]
KEDUA: SIFAT FI’LIYYAH YANG TIDAK MEMILIKI SEBAB YANG DAPAT DIKETAHUI MAKHLUK, CONTOHNYA: TURUN KE LANGIT DUNIA DI SEPERTIGA MALAM YANG TERAKHIR.
• TAMBAHAN PENJELASAN: SEBAGIAN SIFAT MENGANDUNG DUA SISI, DI SATU SISI ADALAH SIFAT DZATIYYAH DAN DI SISI LAIN ADALAH SIFAT FI’LIYYAH, CONTOHNYA: SIFAT MAHA BERBICARA. ALLAH TA’ALA SENANTIASA MEMILIKI SIFAT BERBICARA (INI ADALAH SIFAT DZATIYYAH), AKAN TETAPI ALLAH BERBICARA KAPAN DIA MENGHENDAKINYA (INI ADALAH SIFAT FI’LIYYAH).
Kaidah Keenam:
أن العقل لا مدخل له في باب الأسماء والصفات.
“Bahwa akal tidak ada baginya pintu masuk dalam bab Asma’ wash Shifat.”
Kaidah Ketujuh:
وصف رسول الله صلى الله عليه وسلم لربه ينقسم إلى ثلاثة أقسام: إما بالقول، أو بالفعل، أو بالإقرار.
“Pensifatan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terhadap Rabb-nya terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu dengan ucapan, perbuatan atau penetapan beliau.”
Kaidah Kedelapan:
من غير تحريف ولا تعطي, ومن غير تكييف ولا تمثيل.
“Tidak melakukan tahrif dan ta’thil, serta tidak melakukan takyif dan tamtsil.”
Penjelasan:
في هذه الجملة بيان صفة إيمان أهل السنة بصفات الله تعالى، فأهل السنة والجماعة يؤمنون بها إيماناً خالياً من هذه الأمور الأربعة: التحريف والتعطيل، والتكييف، والتمثيل.
“DALAM KALIMAT INI TERDAPAT PENJELASAN CARA BERIMAN AHLUS SUNNAH TERHADAP SIFAT-SIFAT ALLAH TA’ALA, YAITU AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH MENGIMANI SIFAT-SIFAT ALLAH DENGAN KEIMANAN YANG BERSIH DARI EMPAT PERKARA: TAHRIF, TA’THIL, TAKYIF DAN TAMTSIL.”
TAHRIF (PENYELEWENGAN) ADALAH:
تغيير لفظ النص أو معناه
“MERUBAH LAFAZ NASH ATAU MAKNANYA.”
CONTOH PENYELEWENGAN LAFAZ:
MERUBAH FIRMAN ALLAH TA’ALA,
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيما
“DAN ALLAH TELAH BERBICARA KEPADA MUSA SECARA LANGSUNG.” [AN-NISA’: 164]
MEREKA MERUBAH HAROKAT AKHIR PADA NAMA “ALLAH” DALAM AYAT TERSEBUT, DARI ROFA’ (DENGAN DHOMMAH) MENJADI NASHOB (DENGAN FATHAH), SEHINGGA MAKNANYA BERUBAH DARI “ALLAH YANG BERBICARA KEPADA MUSA” MENJADI “MUSA YANG BERBICARA KEPADA ALLAH” KARENA MEREKA MENGINGKARI SIFAT MAHA BERBICARA BAGI ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA.
CONTOH PENYELEWENGAN MAKNA:
MERUBAH MAKNA ISTIWA MENJADI ISTILA (MENGUASAI).
MERUBAH MAKNA TANGAN MENJADI KEKUATAN ATAU KEINGINAN MEMBERI NIKMAT.
BEBERAPA PERINGATAN:
PERINGATAN PERTAMA: ORANG YANG MELAKUKAN TAHRIF BERBUAT DUA KESALAHAN:
PERTAMA: KESALAHAN TAHRIF ITU SENDIRI.
KEDUA: KESALAHAN MENUDUH AHLUS SUNNAH DENGAN TUDUHAN-TUDUHAN JELEK SEPERTI TUDUHAN MELAKUKAN TAJSIM DAN TASYBIH, LALU MEREKA MEMBUAT JULUKAN JELEK TERHADAP AHLUS SUNNAH DENGAN MUJASSIMAH DAN MUSYABBIHAH.
PERINGATAN KEDUA: ORANG YANG MELAKUKAN TAHRIF MENAMAKANNYA SEBAGAI TA’WIL ATAU TAFSIR, MAKA PERLU DIPAHAMI BAHWA TA’WIL TERBAGI DUA:
PERTAMA: TA’WIL FAASID (YANG RUSAK) YANG TIDAK BERDASARKAN DALIL. TA’WIL FAASID PADA HAKIKATNYA ADALAH TAHRIF (PENYELEWENGAN) BUKAN TA’WIL.
KEDUA: TA’WIL SHAHIH (YANG BENAR) YANG BERDASARKAN DALIL.
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH TIDAK MENGINGKARI TA’WIL, TETAPI MENGINGKARI TA’WIL YANG RUSAK, YANG PADA HAKIKATNYA ADALAH TAHRIF (PENYELEWENGAN).
TA’THIL (PENGINGKARAN) ADALAH:
إنكار ما أثبت الله لنفسه من الأسماء والصفات، سواء كان كلياً أو جزئياً، وسواء كان ذلك بتحريف أو بجحود.
“MENGINGKARI NAMA DAN SIFAT YANG ALLAH TETAPKAN UNTUK DIRI-NYA, SAMA SAJA APAKAH SELURUHNYA ATAU SEBAGIANNYA, DAN SAMA SAJA APAKAH DENGAN MEN-TAHRIF ATAU MENENTANG.”
SETIAP PELAKU TAHRIF ADALAH PELAKU TA’THIL, TAPI TIDAK SEBALIKNYA.
TAFWIDH TERMASUK TA’THIL. TAFWIDH ADALAH MASA BODOH, TIDAK MEYAKINI NAMA DAN SIFAT BAGI ALLAH DENGAN CARA TIDAK MAU TAHU DENGAN MAKNA-MAKNA YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA, DAN MENGEMBALIKAN PERKARANYA KEPADA ALLAH.
ADAPUN TAFWIDH YANG DIBENARKAN ADALAH TAFWIDHUL KAIFIYYAH, YAITU MENYERAHKAN HAKIKAT BENTUK SIFAT-SIFAT ALLAH KEPADA-NYA, TIDAK MELAKUKAN TAKYIF DAN TAMTSIL.
TAKYIF:
التكييف: هو أن تذكر كيفية الصفة
“TAKYIF ADALAH PENYEBUTAN HAKIKAT BENTUK SIFAT.”
TAKYIF TERMASUK BERBICARA TENTANG ALLAH TANPA ILMU, KARENA ALLAH TIDAK MENJELASKAN BENTUK-BENTUK SIFAT DI DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH. MAKA TAKYIF MENYELISIHI DALIL SYAR’I DAN DALIL AKAL.
HENDAKLAH KITA MENGIMANI SEMUA SIFAT-SIFAT ALLAH TA’ALA SESUAI DENGAN KEAGUNGAN DAN KEBESARAN-NYA, ADAPUN BAGAIMANA HAKIKAT BENTUK SIFAT-SIFAT-NYA KITA KEMBALIKAN KEPADA-NYA.
JANGANLAH MENANYAKAN SEPERTI APA BENTUK SIFAT ALLAH, KARENA PERTANYAAN TERSEBUT TERMASUK BID’AH. CONTOHNYA:
-- MENANYAKAN BAGAIMANA CARA ALLAH BER-ISTIWA?
-- MENANYAKAN BAGAIMANA BENTUK TANGAN ALLAH?
-- MENANYAKAN BAGAIMANA CARANYA ALLAH TURUN KE LANGIT DUNIA DI SEPERTIGA MALAM YANG TERAKHIR PADAHAL WAKTU MALAM DI SUATU NEGERI BERBEDA DENGAN NEGERI YANG LAIN?
TAMTSIL:
التمثيل: ذكر مماثل للشيء
“TAMTSIL ADALAH PENYEBUTAN SESUATU YANG SEMISAL DENGAN SESUATU YANG LAIN.”
PENJELASAN:
أهل السنة والجماعة يثبتون لله عز وجل الصفات بدون مماثلة، يقولون: إن الله عز وجل له حياة وليست مثل حياتنا، له علم وليس مثل علمنا، له بصر، ليس مثل بصرنا، له وجه وليس مثل وجوهنا له يد وليست مثل أيدينا وهكذا جميع الصفات.
“AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH MENETAPKAN (SEBAGAIAMANA YANG ALLAH TETAPKAN) UNTUK DIRI-NYA SIFAT-SIFAT TANPA MENYERUPAKANNYA DENGAN SIFAT-SIFAT MAKHLUK. AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH BERPENDAPAT BAHWA:
-- ALLAH ‘AZZA WA JALLA MEMILIKI SIFAT MAHA HIDUP DAN TIDAK SEPERTI KEHIDUPAN KITA,
-- ALLAH TA’ALA MEMILIKI SIFAT MAHA BERILMU DAN TIDAK SEPERTI ILMU KITA,
-- ALLAH TA’ALA MEMILIKI SIFAT MAHA MELIHAT DAN TIDAK SEPERTI PENGLIHATAN KITA,
-- ALLAH TA’ALA MEMILIKI WAJAH DAN TIDAK SEPERTI WAJAH-WAJAH KITA,
-- ALLAH TA’ALA MEMILIKI TANGAN DAN TIDAK SEPERTI TANGAN-TANGAN KITA,
DEMIKIANLAH SELURUH SIFAT-SIFAT ALLAH TA’ALA TIDAK SAMA DENGAN SIFAT-SIFAT MAKHLUK.”
SETIAP PELAKU TAMTSIL ADALAH PELAKU TAKYIF, DAN TIDAK SEBALIKNYA.
[Diringkas dari Syarhu Al-Aqidah Al-Waashitiyyah karya Asy-Syaikh Al-‘Allaamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dan disertai tambahan]
Kaidah Kesembilan:
طريقة القرآن في الصفات النفي والإثبات: نفي المماثلة، وإثبات صفات الكمال.
“Metode Al-Qur’an dalam permasalahan sifat-sifat Allah ta’ala adalah penafikan dan penetapan, yaitu menafikan penyerupaan (antara sifat Allah ta’ala dan sifat makhluk) dan menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah jalla wa ‘ala.” [Lihat Syarhul Aqidah Al-Waasithiyyah hal. 69 karya Asy-Syaikh Muhammad bin Khalil bin Hasan Harras rahimahullah].
Kaidah Kesepuluh:
النفي على وجه الإجمال والإثبات على وجه التفصيل.
“Menafikan pernyerupaan secara global dan menetapkan sifat-sifat secara terperinci.”[Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 3/4 dan 6/37 dan 515, At-Tadmuriyyah hal. 8].
Kaidah Kesebelas:
ولا ينفون عنه ما وصف به نفسه.
“Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menafikan dari Allah satu sifat yang Allah sifatkan untuk diri-Nya.”
Kaidah Keduabelas:
ولا يحرفون الكلم عن مواضعه.
“Tidak menyelewengkan (menafsirkan tanpa dalil) ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah hingga keluar dari makna-maknanya yang sebenarnya.”
Kaidah Ketigabelas:
ولا يلحدون في أسماء الله وآياته.
“Tidak melakukan ilhad (penyimpangan) terhadap nama-nama Allah dan ayat-ayat-Nya.”
PENJELASAN:
• MACAM-MACAM ILHAD DALAM NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH TA’ALA:
PERTAMA: MENAMAKAN ALLAH DENGAN NAMA YANG TIDAK DIA NAMAKAN UNTUK DIRI-NYA. SEPERTI ORANG-ORANG KRISTEN MENAMAKAN ALLAH TA’ALA DENGAN “BAPAK”.
KEDUA: MENGINGKARI SALAH SATU NAMA ALLAH TA’ALA.
KETIGA: MENGINGKARI SIFAT-SIFAT YANG DITUNJUKKAN OLEH NAMA-NAMA ALLAH TA’ALA (LIHAT PENJELASAN KAIDAH SELANJUTNYA).
KEEMPAT: MENETAPKAN NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH TA’ALA TETAPI MELAKUKAN TAMTSIL (PENYERUPAAN SIFAT-SIFAT ALLAH DENGAN MAKHLUK).
KELIMA: MENAMAKAN SESEMBAHAN-SESEMBAHAN SELAIN ALLAH DENGAN NAMA-NAMA-NYA ATAU DENGAN PECAHAN KATA DARI NAMA-NAMA-NYA. SEPERTI KAUM MUSYRIKIN MENAMAKAN SESEMBAHAN MEREKA DENGAN AL-LAATA DARI NAMA AL-ILAH, AL-‘UZZA DARI AL-‘AZIZ DAN AL-MANAT DARI AL-MANNAN.
• MACAM-MACAM ILHAD DALAM AYAT-AYAT ALLAH TA’ALA KAUNIYYAH:
MENISBATKAN AYAT-AYAT ALLAH TA’ALA KAUNIYYAH (SEPERTI PENCIPTAAN LANGIT DAN BUMI, PENGATURAN DAN PENGUASAANNYA) KEPADA SELAIN-NYA, APAKAH DALAM BENTUK ISTIQLAL (BERDIRI SENDIRI TANPA ALLAH TA’ALA), MUSYAROKAH (BERSEKUTU DENGAN ALLAH TA’ALA) ATAU I’AANAH (MEMBANTU ALLAH TA’ALA), MAKA INI SEMUA TERMASUK KESYIRIKAN DAN KEKAFIRAN.
MACAM-MACAM ILHAD DALAM AYAT-AYAT ALLAH TA’ALA SYAR’IYYAH:
PERTAMA: MENDUSTAKANNYA, DALAM DUA BENTUK: (1) TIDAK MEYAKININYA BERASAL DARI ALLAH TA’ALA ATAU (2) MEYAKININYA BERASAL DARI ALLAH TA’ALA NAMUN TIDAK MEMPERCAYAINYA.
KEDUA: MELAKUKAN TAHRIF (PENYELEWENGAN), SEPERTI MENAFSIRKAN MAKNA ISTIWA DI ATAS ‘ASRY DENGAN ISTILA (BERKUASA DI ATAS ‘ARSY) ATAU MENAFSIRKAN MAKNA ALLAH TURUN KE LANGIT DUNIA DENGAN “TURUN PERINTAH-NYA”, MAKA INI ADALAH PENYIMPANGAN.
KETIGA: MENYELISIHINYA, YAITU DENGAN MENINGGALKAN PERINTAHNYA DAN MELAKUKAN LARANGANNYA.
Kaidah Keempatbelas:
الاسم له أنواع ثلاثة في الدلالة: دلالة مطابقة، ودلالة تضمن، ودلالة التزام:
1- فدلالة المطابقة: دلالة اللفظ على جميع مدلوله، وعلى هذا، فكل اسم دال على المسمى به، وهو الله، وعلى الصفة المشتق منها هذا الاسم.
2- ودلالة التضمن: دلالة اللفظ على بعض مدلوله، وعلى هذا، فدلالة الاسم على الذات وحدها أو على الصفة وحدها من دلالة التضمن.
3- ودلالة الالتزام: دلالته على شيء يفهم لا من لفظ الاسم لكن من لازمه ولهذا سميناه: دلالة الالتزام.
“Nama Allah memiliki tiga macam penunjukan: Penunjukan secara muthoobaqoh (ketercakupan makna), tadhammun (kandungan makna) dan iltizam (konsekuensi makna):
Penunjukkan secara muthoobaqoh adalah penunjukan suatu lafaz terhadap seluruh maknanya, maka setiap nama Allah menunjukan adanya dzat yang dinamakan dengannya, yaitu Allah, dan menunjukan adanya sifat yang terkandung dalam nama tersebut.
Penunjukan secara tadhommun adalah penunjukan suatu lafaz terhadap sebagian maknanya, maka satu nama Allah menunjukan adanya dzat Allah itu sendiri dan menunjukan adanya sifat itu sendiri yang dipahami dari penunjukan secara tadhommun.
Penunjukan secara iltizam adalah penunjukan suatu lafaz terhadap sesuatu yang dipahami bukan dari lafaz satu nama Allah, akan tetapi sesuatu tersebut termasuk konsekuensinya (kelazimannya), oleh karena itu kita menamakannya: Penunjukan secara konsekuensi.”
CONTOH:
Nama Allah ta’ala: Al-Khaliq (Maha Mencipta) maka secara muthoobaqoh menunjukan adanya dzat Allah dan sifat yang terkandung padanya, yaitu sifat al-khalqu (mencipta).
Secara tadhommun nama Al-Khaliq dari satu sisi menunjukan adanya dzat Allah saja, dan di sisi yang lain nama Al-Khaliq menunjukan adanya sifat al-khalqu (mencipta) saja.
Secara iltizam nama Al-Khaliq menunjukan adanya sifat ilmu (maha berilmu) dan qudroh (maha mampu), karena tidak mungkin dapat mencipta kecuali harus memiliki ilmu dan qudroh.
CONTOH LAIN UNTUK MENDEKATKAN PEMAHAMAN:
KATA RUMAH SECARA MUTHOOBAQOH MENUNJUKAN ADANYA SEBUAH RUMAH DENGAN SEGENAP SIFAT-SIFATNYA (BAGIAN-BAGIANNYA) SECARA KESELURUHAN.
SECARA TADHOMMUN KATA RUMAH DI SATU SISI MENUNJUKAN ADANYA KAMAR TIDUR, DI SISI YANG LAIN KATA RUMAH MENUNJUKAN ADANYA RUANG TAMU, DI SISI YANG LAIN KATA RUMAH MENUNJUKAN ADANYA WC DAN SETERUSNYA, INI DISEBUT PENUNJUKAN TERHADAP SEBAGIAN MAKNA RUMAH (TADHOMMUN).
SECARA ILTIZAM KATA RUMAH MENUNJUKAN ADANYA ORANG YANG MEMBANGUN RUMAH TERSEBUT, KARENA TIDAK MUNGKIN SEBUAH RUMAH BERDIRI TANPA ADA YANG MEMBANGUNNYA.
Kaidah Kelimabelas:
الصفات أعم من الأسماء، لأن كل اسم متضمن لصفة، وليس كل صفة متضمنة لاسم.
“Sifat-sifat lebih luas dari nama-nama, karena setiap nama Allah ‘azza wa jalla mengandung sifat, dan tidak setiap sifat mengandung nama.” [Lihat Al-Qowaa’idul Mutsla, hal. 30, sebagaimana dalam Shifaatullaahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 26].
Kaidah Keenambelas:
ولا يكيفون ولا يمثلون صفاته بصفات خلقه؛ لأنه سبحانه لا سمي له وكفو له ولا ند له, بخلقه سبحانه وتعالى.
“Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak melakukan takyif (menggambarkan bentuk) dan tamtsil (menyerupakan) sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya, karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak ada yang semisal dengan-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya.”
Kaidah Ketujuhbelas:
ولا يقاس بخلقه سبحانه وتعالى.
“Allah tidak boleh di-qiyas-kan dengan makhluk-Nya subhanahu wa ta’ala.”
PENJELASAN:
MAKSUD PENULIS (SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH RAHIMAHULLAH) ADALAH QIYAS SYUMUL DAN QIYAS TAMTSIL, BUKAN QIYAS AULAWIYYAH. KARENA QIYAS ADA TIGA MACAM:
PERTAMA: QIYAS SYUMUL, YAITU SECARA UMUM YANG MENCAKUP KESELURUHAN MAKNANYA, CONTOHNYA MENG-QIYAS-KAN KEHIDUPAN ALLAH DENGAN KEHIDUPAN MAKHLUK, DENGAN ALASAN KEDUANYA SAMA-SAMA HIDUP, MAKA QIYAS SEPERTI INI JELAS KEBATILAN DAN KEBODOHAN.
KEDUA: QIYAS TAMTSIL, YAITU MENYAMAKAN SIFAT ALLAH DENGAN SIFAT MAKHLUK, INI JUGA TERMASUK KEBATILAN DAN KEBODOHAN.
KETIGA: QIYAS AULAWIYYAH, YAITU DALAM SATU SIFAT YANG ALLAH LEBIH PANTAS MENYANDANGNYA DARIPADA MAKHLUK. SEPERTI SIFAT ILMU, QUDROH, HIKMAH, HAYAT DAN LAIN-LAIN ADALAH SIFAT-SIFAT YANG SEMPURNA BAGI MAKHLUK, MAKA ALLAH TA’ALA LEBIH PANTAS MENYANDANG SIFAT-SIFAT TERSEBUT DAN DALAM BENTUK YANG LEBIH TINGGI DAN LEBIH SEMPURNA.
Kaidah Kedelapanbelas:
فإنه سبحانه أعلم بنفسه وبغيره، وأصدق قيلاً وأحسن حديثاً من خلقه.
“Sesungguhnya Allah lebih tahu tentang diri-Nya (baik dzat-Nya, nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya) dan tentang selain-Nya, lebih benar ucapannya dan lebih baik pembicaraannya daripada makhluk-Nya.”
Kaidah Kesembilanbelas:
ثم رسله صادقون مصدقون؛ بخلاف الذين يقولون عليه ما لايعلمون.
“Kemudian (yang lebih tahu tentang Allah, lebih benar ucapannya dan lebih baik pembicaraannya) adalah para rasul-Nya yang benar lagi dibenarkan, berbeda dengan orang-orang yang berkata tentang Allah tanpa ilmu.”
Kaidah Keduapuluh:
صفات الله عز وجل قسمان: ثبوتية وسلبية, فالثبوتية: ما أثبت الله تعالى لنفسه في كتابه أو على لسان رسوله صلى الله عليه وسلم، وكلها صفات كمال، ليس فيها نقص بوجه من الوجوه كالحياة، والعلم، والقدرة، والاستواء على العرش، والنزول إلى السماء الدنيا، والوجه، واليدين، ونحو ذلك.
والصفات السلبية: ما نفاها الله سبحانه عن نفسه في كتابه، أو على لسان رسوله صلى الله عليه وسلم، وكلها صفات نقص في حقه، كالموت، والنوم، والجهل، والنسيان، والعجز، والتعب. فيجب نفيها عن الله تعالى مع إثبات ضدها على الوجه الأكمل.
“Sifat-sifat Allah ada dua macam, tsubutiyyah (yang ditetapkan) dan salbiyyah (yang dinafikkan):
Tsubutiyyah (sifat yang ditetapkan) artinya adalah sifat-sifat yang ditetapkan Allah ta’ala untuk diri-Nya di dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.
Dan semua sifat yang Allah ta’ala tetapkan untuk diri-Nya adalah sifat-sifat kesempurnaan, tidak mengandung kekurangan dilihat dari sisi mana pun.
Seperti sifat maha hidup, maha berilmu, maha mampu, istiwa di atas ‘arsy, turun ke langit dunia, wajah, dua tangan dan yang semisalnya.
Salbiyyah (sifat yang dinafikan) artinya adalah sifat-sifat yang dinafikan Allah ta’ala dari diri-Nya dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.
Dan semua sifat yang Allah nafikan dari diri-Nya adalah sifat-sifat kekurangan apabila disematkan kepada-Nya.
Seperti sifat mati, tidur, bodoh, lupa, lemah dan capek.
Maka wajib menafikannya dari Allah ta’ala disertai dengan penetapan sifat yang berlawanan dengannya dalam bentuk yang paling sempurna.”
Kaidah Keduapuluhsatu:
الصفات تنقسم إلى ثلاثة أقسام: صفة كمال مطلق، وصفة كمال مقيد، وصفة نقص مطلق.
“Sifat-sifat (terkait dengan kesempurnaan dan kekurangan) terbagi menjadi tiga macam:
Sifat yang sempurna secara mutlak (umum).
Sifat yang sempurna dengan disertai taqyid (tambahan keterangan).
Sifat yang kurang secara mutlak.”
PENJELASAN:
SIFAT YANG SEMPURNA SECARA MUTLAK ADALAH SIFAT-SIFAT YANG ALLAH TETAPKAN SECARA MUTLAK UNTUK DIRI-NYA YANG MENGANDUNG KESEMPURNAAN TANPA KEKURANGAN SEDIKIT PUN, DARI SISI MANA PUN, SEPERTI SIFAT MAHA HIDUP, MAHA BERILMU, MAHA MAMPU, ISTIWA DI ATAS ‘ARSY, TURUN KE LANGIT DUNIA, WAJAH, DUA TANGAN DAN YANG SEMISALNYA.
SIFAT YANG SEMPURNA SECARA TIDAK MUTLAK ADALAH SIFAT-SIFAT YANG TIDAK BOLEH DISIFATKAN KEPADA ALLAH SECARA MUTLAK (UMUM) TANPA ADANYA TAQYID (TAMBAHAN KETERANGAN), SEPERTI SIFAT MAKAR, MENIPU, MEMPEROLOK-OLOK DAN YANG SEMISALNYA. TIDAK BOLEH MENGATAKAN SECARA MUTLAK: “ALLAH MEMBUAT MAKAR, ALLAH MENIPU, ALLAH MEMPEROLOK-OLOK”. TETAPI HARUS DENGAN TAMBAHAN KETERANGAN: “ALLAH MEMBUAT MAKAR TERHADAP ORANG-ORANG YANG BERBUAT MAKAR, ALLAH MENIPU KAUM MUNAFIKIN, ALLAH MEMPEROLOK-OLOK KAUM MUNAFIKIN”.
SIFAT YANG KURANG SECARA MUTLAK ADALAH YANG MENGANDUNG KEKURANGAN DILIHAT DARI SISI MANA PUN, CONTOHNYA LEMAH, KHIANAT, BUTA, TULI DAN YANG SEMISALNYA, TIDAK BOLEH DISIFATKAN KEPADA ALLAH TA’ALA.
Kaidah Keduapuluhdua:
الصفات المأخوذة من الأسماء هي كمال بكل حال.
“Sifat-sifat yang diambil dari nama-nama Allah adalah sifat-sifat yang sempurna dalam semua keadaan.”
Kaidah Keduapuluhtiga:
عدة طرق لإثبات الصفة:
الطريق الأول: دلالة الأسماء عليها، لأن كل اسم، فهو متضمن لصفة.
الطريق الثاني: أن ينص على الصفة، مثل الوجه، واليدين، والعينين.
الطريق الثالث: أن تؤخذ من الفعل.
“Beberapa cara untuk menetapkan sifat:
Cara Pertama: Penunjukan satu nama terhadap sifat, karena setiap nama mengandung sifat.
Cara Kedua: Terdapat nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang menunjukan kepada sifat tersebut, seperti wajah, dua tangan dan dua mata.
Cara Ketiga: Diambil dari perbuatan.”
Kaidah Keduapuluhempat:
فلا عدول لأهل السنة والجماعة عما جاء به المرسلون؛ فإنه الصراط المستقيم, صراط الذين أنعمت عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين.
“Maka tidak ada penyimpangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari ajaran para rasul, karena itu adalah jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau (Allah) berikan kenikmatan, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada dan shaalihin.”
[Diringkas dari Syarhu Al-Aqidah Al-Waashitiyyah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dan disertai tambahan]
Kaidah Keduapuluhlima:
التوقف في الألفاظ المجملة التي لم يرد إثباتها ولا نفيها، أما معناها؛ فَيُسْتفصل عنه، فإن أريد به باطل يُنَزَّه الله عنه؛ رُدَّ، وإن أريد به حق لا يمتنع على الله؛ قُبِلَ، مع بيان ما يدلُّ على المعنى الصواب من الألفاظ الشرعية، والدعوة إلى استعماله مكان هذا اللفظ المجمل الحادث
“Tawaqquf terhadap lafaz-lafaz global yang tidak ditetapkan dan tidak pula dinafikan oleh dalil syar’i. Adapun maknanya, harus diminta perinciannya, apabila bermakna batil yang Allah suci darinya maka ditolak, namun apabila bermakna benar yang sesuai dengan (keagungan) Allah maka diterima, namun disertai dengan penjelasan lafaz-lafaz yang sesuai syari’at yang memenunjukkan makna yang benar tersebut dan ajakan menggunakan lafaz-lafaz yang sesuai syari’at tersebut untuk mengganti lafaz mujmal yang baru itu.”[1]
Kaidah Keduapuluhenam:
كل صفة ثبتت بالنقل الصحيح؛ وافقت العقل الصريح، ولابد
“Semua sifat yang ditetapkan dengan dalil yang shahih pasti sesuai dengan akal yang sehat, tidak mungkin tidak.”[2]
Kaidah Keduapuluhtujuh:
صفات الله عَزَّ وجَلَّ يستعاذ بها ويُحلف بها
“Boleh ber-isti’adzah dan bersumpah dengan sifat-sfat Allah ‘azza wa jalla.”[3]
Penjelasan:
1) Boleh ber-isti’adzah dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala,
2) Boleh bersumpah dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala,
3) Hendaklah hanya berdoa dengan menyeru nama-nama Allah ta’ala,
4) Tidak boleh berdoa dengan menyeru sifat-sifat Allah ta’ala, bahkan sepakat ulama bahwa perbuatan itu adalah kekafiran, karena itu artinya menjadikan sifat-sifat Allah ta’ala terpisah dari-Nya. (Lihat Liqo’ Al-Baabil Maftuh lbnil ‘Utsaimin rahimahullah, 30/234)
5) Boleh ber-tawassul dengan sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla (lihat Fatawa Nur ‘alad Darb libnil Baz rahimahullah, 2/131, no. 44)
Kaidah Keduapuluhdelapan:
الكلام في الصفات كالكلام في الذات
“Pembicaraan tentang sifat sama dengan pembicaraan tentang dzat.”[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَقَدْ أَطْلَقَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِمَّنْ حَكَى إجْمَاعَ السَّلَفِ – مِنْهُمْ الخطابي – مَذْهَبَ السَّلَفِ: أَنَّهَا تَجْرِي عَلَى ظَاهِرِهَا مَعَ نَفْيِ الْكَيْفِيَّةِ وَالتَّشْبِيهِ عَنْهَا؛ وَذَلِكَ أَنَّ الْكَلَامَ فِي ” الصِّفَاتِ ” فَرْعٌ عَلَى الْكَلَامِ فِي ” الذَّاتِ ” يُحْتَذَى حَذْوُهُ وَيُتَّبَعُ فِيهِ مِثَالُهُ؛ فَإِذَا كَانَ إثْبَاتُ الذَّاتِ إثْبَاتَ وُجُودٍ لَا إثْبَاتَ كَيْفِيَّةٍ؛ فَكَذَلِكَ إثْبَاتُ الصِّفَاتِ إثْبَاتُ وُجُودٍ لَا إثْبَاتُ كَيْفِيَّةٍ فَنَقُولُ إنَّ لَهُ يَدًا وَسَمْعًا وَلَا نَقُولُ إنَّ مَعْنَى الْيَدِ الْقُدْرَةُ وَمَعْنَى السَّمْعِ الْعِلْمُ.
“Dan telah menyebutkan secara mutlak tidak seorang ulama saja yang telah menghikayatkan ijma’ (kesepakatan) generasi Salaf –diantaranya yang dinukil oleh Al-Khattabi- tentang mazhab Salaf: Bahwa ayat-ayat sifat dibiarkan sesuai zhahir-nya (tidak ditakwil tanpa dalil), disertai dengan penafikan kaifiyyah (tidak menggambarkan bentuk sifat Allah) dan tidak menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Hal itu karena pembicaraan tentang sifat Allah adalah cabang dari pembicaraan tentang dzat-Nya, maka harus sama dan semisal; maksudnya adalah:
Apabila penetapan (keimanan) terhadap dzat Allah adalah penetapan (keimanan) terhadap wujudnya, bukan penetapan untuk menggambarkan bentuk dzat Allah, demikian pula penetapan (keimanan) terhadap sifat Allah adalah penetapan (keimanan) terhadap wujudnya, bukan penetapan untuk menggambarkan bentuk sifat Allah; maka kita katakan bahwa Allah memiliki tangan dan pendengaran, dan kita tidak boleh mengatakan bahwa makna tangan adalah kemampuan (qudroh) dan tidak pula boleh pula mengatakan pendengaran adalah ilmu.” [Majmu’ Al-Fatawa, 6/355]
Kaidah Keduapuluhsembilan:
القول في بعض الصفات كالقول في البعض الآخر
“Ucapan tentang sebagian sifat sama dengan ucapan tentang sebagian sifat yang lain.”[5]
Kaidah Ketigapuluh:
ما أضيف إلى الله مما هو غير بائنٍ عنه؛ فهو صفة له غير مخلوقة، وكلُّ شيء أضيف إلى الله بائن عنه؛ فهو مخلوق؛ فليس كل ما أضيف إلى الله يستلزم أن يكون صفةً له
“Apa yang disandarkan kepada Allah sedang ia tidak terpisah dengan Allah, maka itu adalah sifat Allah ta’ala dan bukan makhluk, dan segala sesuatu yang disandarkan Allah sedang ia terpisah dengan Allah maka ia makhluk, karena tidak setiap yang disandarkan kepada Allah mengharuskannya sebagai sifat Allah.”[6]
Kaidah Ketigapuluhsatu:
صفات الله عَزَّ وجَلَّ وسائر مسائل الاعتقاد تثبت بما ثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، وإن كان حديثاً واحداً، وإن كان آحاداً
“Sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla dan seluruh masalah aqidah ditetapkan (juga) dengan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam walau hanya satu hadits, walau hadits ahad.”[7]
Kaidah Ketigapuluhdua:
باب الأخبار أوسع من باب الصفات، وما يطلق عليه من الأخبار؛ لا يجب أن يكون توقيفياً؛ كالقديم، والشيء، والموجود والقائم بنفسه
“Bab pengabaran lebih luas dari bab sifat, dan pengabaran secara umum tidak wajib berdasarkan dalil, seperti al-qodim, asy-syaiu, al-maujud dan al-qooim bi nafsihi (berdiri sendiri).”[8]
Kaidah Ketigapuluhtiga:
صفات الله عَزَّ وجَلَّ لا حصر لها؛ لأن كل اسم يتضمن صفة، وأسماء الله لا حصر لها، فمنها ما استأثر الله به في علم الغيب عنده.
“Sifat-sifat Allah ‘azza wajalla tidak ada batasan jumlahnya, karena setiap nama mengandung sifat, sedang nama-nama Allah tidak ada batasan jumlahnya, karena diantara nama-nama Allah ada yang Allah khususkan dalam ilmu ghaib di sisi-Nya.”[9]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
——————-
[1] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 24. Lihat juga Majmu’ Al-Fatawa, 5/299 dan 6/36, At-Tadmuriyyah, hal. 65 dan Mukhtashor Ash-Showaa’qul Mursalah, hal. 139.
[2] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 25. Lihat juga Mukhtashor Ash-Showaa’qul Mursalah, hal. 141.
[3] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 27. Lihat Majmu’ Al-Fatawa 6/143, 229 dan 35/273, dan lihat Syarhus Sunnah lil Baghowi, 1/185-187.
[4] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 27. Lihat juga Majmu’ Al-Fatawa, 5/330 dan 6/335, dan At-Tamuriyyah, hal. 43.
[5] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 28. Lihat juga Majmu’ Al-Fatawa, 5/212, dan At-Tamuriyyah, hal. 31.
[6] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 28. Lihat juga Majmu’ Al-Fatawa, 9/290, Al-Jawaabus Shahih, 3/145 dan Majmu’ Fatawa wa Rosaal Ibni ‘Utsaimin, 1/166.
[7] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 29. Lihat juga Mukhtashor Ash-Showaa’iq Al-Mursalah, 2/332, 412 dan 433.
[8] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 30. Lihat juga Badaai’ul Fawaaid, 1/162.
[9] Shifaatullahi ‘Azza wa Jalla Al-Waaridah fil Kitab was Sunnah, hal. 30.

No comments

Powered by Blogger.