Header Ads

Jadilah Lentera Kehidupan!

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:

“Dan apakah orang yang telah mati (hatinya) kemudian Kami hidupkan kembali dan Kami anugerahkan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya dalam gelap gulita yang sekali-kali ia tidak dapat keluar darinya?”. [QS. Al-An’am: 122]

 

Permisalan sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seumpama danau luas yang menerima air, air disimpan dalam perutnya untuk minum manusia dan ternak, ia juga memberi penghidupan untuk tanaman dan pepohonan sekitarnya.

Banyak kelompok pergerakan maupun jamaah dakwah yang mengkarbit jamaahnya untuk menjadi dai, dalam hitungan waktu telah keluar dai-dai baru yang mayoritas kosong dari ilmu dan jauh dari hikmah. Mereka lebih dekat kepada kebodohan daripada ilmu dan pengetahuan, seharusnya menjadi seorang jamaah lebih layak daripada menjadi seorang dai. Akan tetapi karena jamaah dan pergerakannya membutuhkan orang-orang yang menghidupkan pemahaman, maka dilakukan pengkarbitan tadi, maka apa yang ia rusakkan lebih banyak daripada yang ia perbaiki.

Berbeda dengan salaf, memang jumlah dainya tidak seberapa, kadang-kadang dalam satu kota hanya terdapat satu atau dua dai, bahkan kadang-kadang beberapa wilayah dipegang oleh satu dai. Akan tetapi, setiap individu yang telah merasakan ajarang kebenaran ini, kiranya telah menjadi mesin pencetak orang-orang yang semisalnya. Setiap minggu ada saja orang ia bawa untuk datang ke pengajian, atau minimal pengajian yang telah ia terima itu telah ia sampaikan pula kepada orang-orang disekitarnya.

Adalah para sahabat dahulu, juga merupakan dai-dai yang disiapkan oleh Nabi, seperti Muadz bin jabal, Mush’ab bin Umair, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhum, akan tetapi mereka bukanlah dai karbitan. Jumlah dai-dai itu memang tidak banyak, hanya saja setiap individu sahabat adalah lentera dan secara tidak langsung telah menjadi dai yang mengajak kepada kebenaran sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Mereka tidak tahan melihat saudaranya dalam kesesatan, sedangkan ia dalam kenikmatan iman.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jubair bin Nufair, “Suatu ketika kami duduk bersama Miqdad bin Aswad radhiallahu ‘anhuma, tiba-tiba seseorang lewat dan berkata, ‘Berbahagialah bagi kedua mata tersebut yang telah melihat Rasulullah shalallahu a‘laihi wa sallam, betapa kami berangan-angan agar kami dapat melihat apa yang pernah engkau lihat, dan kami dapat menyaksikan apa yang telah engkau saksikan’. Tiba-tiba Miqdad marah –sehinga membuatku terkejut karena tidak ada yang salah dari ucapannya-.

Lalu ia memandang orang tersebut sambil berkata, ‘apa yang membuat seseorang berangan-angan kepada sesuatu yang telah Allah subhanahu wa ta’ala ghaibkan darinya, sekiranya ia ikut menyaksikan tentu ia tidak apa yang seharusnya ia perbuat. Demi Allah, telah banyak yang menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan tetapi membuat mereka terjerumuskan dalam api neraka, karena mereka tidak memenuhi seruannya dan tidak membenarkannya. Atau selama ini kalian tidak bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah mengluarkan kalian dari perut ibu kalian, tidak mengenal kecuai Rabb kalian dan membenarkan semua yang dibawa oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, bala telah dijauhkan! Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diutus pada masa jahiliyah masa genting, dalam pemahaman mereka tidak ada agama yang lebih baik daripada penyembahan berhala, lalu beliau dating membawa al-furqan (pembeda) antara yang haq dengan yang bathil, memisahkan antara anak dengan ayahnya. Sampai seseorang tidak senang hatinya mendpati ayah atau anak atau saudaranya dalam kekafiran, sedangkan hatinya telah dibukakan untuk menerima iman, dan ia mengetahui sekali mereka yang ia cintai pasti akan masuk neraka.” [Tafsir Ibnu katsir 3/439 beliau berkata, “Sanadnya Shahih dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim.”]

Begitulah gambaran kecintaan sahabat kepada keluarga dan kerabatnya dalam memberi hidayah, tidak tenang hati mereka kecuali dengan memeberi hidayah kepada orang lain, merekalah lentera kebenaran yang sebenarnya!!

Tugas yang termulia bagi seorang muslim setelah ia memperoleh hidayah adalah mengajak ornag lain kepadanya, karena dengan cara begitu hidayah akan kekal pada dirinya. Bukankah “Al-jazaa-u min jinsil amal?!” Ganjaran sesuai dengan jenis usaha, kalau hari ini ia telah memberi hidayah kepada orang lai, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menganugerahkan kepadanya ganjaran yang serupa yaitu dengan memantapkan hatinya dalam hidayah, sebagaimana dalam doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Ya Allah subhanahu wa ta’ala, hiasilah kami dengan hiasan iman, jadikanlah kami pemberi petunjuk untuk manusia yang telah Engkau beri hidayah [HR. Ahmad dan an-Nasaa-i], tidak sesat dan menyesatkan, berdamai dengan wali-wali-Mu, memasang permusuhan dengan musuh-musuh-Mu, mencintai orang yang mencintai atas nama cinta-Mu, dan memusuhi orang yang menyelisihi-Mu karena permusuhan atas-Mu”.

Allah Jalaa Jalalahu memuji hamba mukmin yang memohon agar dijadikan pemimpin yang diberi hidayah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman;

Dan orang-orang yang berkata,

“Wahai Rab kami, anugerahkanlah kepada kami istri dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” [QS. Al-Furqan: 74]

Ibnu Abbas radhialahu ‘anhu berkata, “Meniru kami dan mengambil hidayah dari kami dalam hal kebaiakan.” [Tafsir Ibnu katsir 3/439]

Hasan Basri rahimahullah berkata, “Tidak ada yang lebih menyejukkan hati seorang muslim, melihat anak atau cucunya atau sejawatnya berbuat ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.” [Ibid]

Makhul rahimahullah berkata: “Jadikanlah kami sebagai imam dalam taqwa, (sehingga) orang-orang bertaqwa mengikut kepada kami.”

Mujahid rahimahullah berkata: “Jadikanlah kami makmum orang-orang yang bertaqwa, meneladani mereka.”

Sebagian orang yang tidak mengerti pemahaman dan kedalaman ilmu salaf, merasa sulit memahami tafsiran ini. Mereka berkata, “Berdasarkan tafsiran ini, susunan ayat menjadi terbalik, sehingga bermakna, ‘Jadikanlah orang-orang yang bertaqwa pemimpin kami’”, kita tentu berlindung dari menafsirkan ayat dalam susunan yang terbalik.

Penafsiran Mujahid rahimahullah ini menunjukkan kesempurnaan ilmu beliau, karena tidak mungkin seseorang menjadi pemimpin bagi orang yang bertaqwa, sampai ia mengikuti orang-orang yang bertaqwa. Maksudnya beliau ingin menegaskan bahwa kemuliaan ini mereka peroleh dengan mengikuti ajaran salaf. Barangsiapa yang menjadikan Ahlussunah sebagai penutannya, niscaya ornag-orang semasanya dan setelahnya akan menjadikan dirinya sebagai panutan.

Dalam ayat ini ada sebuah rahasia, yaitu kenapa kata imam pada ayat tersebut dengan lafadz jamak, “waj’alna lil muttaqiina imaman” –tidak “a-immatan”. Sebagian mengatakan bahwa lafadz imam adalah dengan mufrad akan tetapi maksudnya jamak, sebagaimana yang dikatakan oleh Farra’ rahimahulah. Akan tetapi, jawaban terbaik adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahulah, bahwa orang-orang yang bertaqwa adalah mereka yang selalu di jalan yang satu, ma’bud (zat yang diibadahi) yang satu, pengikut kitab yang satu, nabi yang satu, hamba dari Rabb yang satu, agama mereka satu, seakan-akan mereka bagaikan imam yang satu, tidak seperti para imam yang lain –setiap mereka berselisih, maka berbeda pula ajaran, madzhab dan aqidah mereka. [Risalah Ibnul Qayyim, hal. 15]

Wallahu a’lam.

Sumber :buku Untukmu yang Berjiwa Hanif, hal. 64-70, karya Armen Halim Naro, Lc., Pustaka Darul ilmi

No comments

Powered by Blogger.