Header Ads

Tabi’in Senior dari Yaman -Thawus bin Kaisan rahimahullah

Beliau adalah Abu Abdirrahman Thawus bin Kaisan al-Yamani al-Himyari maula Bakhir bin Kuraisan al-Himyari, termasuk keturunan bangsa Persia. Ibu beliau dari keturunan Persia, sedang ayah beliau dari Qasith.


Beliau termasuk kibaar at-taabi’iin, sangat dikenal dalam memberi wasiat dan nasihat, dan tidak gentar dalam meluruskan setiap kesalahan. Sebab itu, beliau banyak disegani oleh setiap kaum muslimin sampaipun oleh para raja dan khalifah kaum muslimin.


Ada yang berkata bahwa nama asli beliau adalah Dzakwan, sedangkan Thawus adalah nama julukan. Diriwayatkan dari Yahya bin Ma’in ia berkata, “Beliau dijuluki Thawus (burung merak) karena beliau banyak menimba ilmu (berkeliling) kepada para qurraa’ (ahli qiraah).” [Tahdzibul Kamal 13/357]


Beliau lahir di zaman para sahabat, sehingga beliau banyak berjumpa dan menimba ilmu dari para sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, di antaranya adalah Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Abbas, Mu’adz bin Jabal, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhum, dan para kibaar ash-shahaabah lainnya. Bahkan beliau juga menimba ilmu kepada Ummul Mukminin Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa.


Demikian ilmu dan pemahaman yang beliau dapatkan dari para pendahulunya itu pun beliau ajarkan kepada orang-orang yang setelahnya, karena merekalah para penerus dakwah. Sebut saja di antara murid-murid beliau yang ternama seperti Wahb bin Munabbih, Atha’ bin Abi Rabah, Amr bin Dinar, Mujahid, Laits bin Abi Salim –rahimahumullaah-, dan yang lainnya.


 Berkata adz-Dzahabi rahimahullaah, “Aku berpendapat bahwa beliau dilahirkan pada masa khilafah Utsman radhiyallaahu ‘anhu atau sebelum itu.” [Siyar A’lam an-Nubala’ 5/38]


Diriwayatkan dari Abdul Malik bin Maisarah dari Thawus rahimahullaah ia mengatakan, “Sungguh aku bertemu dengan 50 orang sahabat-sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.” [Tahdzibut Tahdzib 5/9]


PUJIAN ULAMA KEPADA BELIAU

Beliau memiliki bagian yang banyak dalam hal mengambil ilmu dan mengajarkan kepada umat, yang dengan itulah nama beliau tidak asing bagi para penuntut ilmu.


Berkata Ibnu Hibban rahimahullah, “Thawus adalah ahli ibadah penduduk Yaman, ahli fiqih mereka, dan termasuk salah satu pembesar tabi’in.” [Ats-Tsiqat 4/391]


Berkata Hubaib bin asy-Syahid rahimahullaah, “Aku berada di sisi Amr bin Dinat lalu disebutlah perihal Thawus, lalu ia (Amr bin Dinar) mengatakan, ‘Aku tidak melihat seorang pun yang semisal Thawus.’” [Al-Jarh wat Ta’dil 4/2203]


Dari Utsman bin Sa’id rahimahullaah ia berkata, “Aku berkata kepada Yahya bin Ma’in, ‘Apakah Thawus lebih engkau cintai atau Sa’id bin Zubair?’ Beliau menjawab, ‘Ia seorang yang tsiqah yang tidak diperbandingkan.’”


Atha’ bin Abi Rabah [lihatt biografi beliau pada majalah AL-FURQON edisi 107] rahimahullaah meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallaahu ‘anhumaa bahwa beliau mengatakan, “Sungguh aku menyangka bahwa Thawus adalah termasuk penduduk surga.” [Siyar A’lam an-Nubala’ 5/39]


POTRET KEPRIBADIAN BELIAU

1. Dalam ibadah

Di antara beberapa nukilan dari para ulama kita tentang kesungguhan beliau dalam ibadah dan menghambakan diri di hadapan Allah ‘azza wa jalla di antaranya:


Berkata Abdurrahman bin Abi Bakr al-Makki rahimahullaah, “Aku melihat Thawus dan di antara kedua mata beliau tampak bekas sujud.” [Siyar A’lam an-Nubala’ 5/44]


Dari Ibnu Syu’dzib rahimahullaah ia berkata, “Aku menyaksikan jenazah Thawus di Makkah pada tahun 150 H, manusia menyebut-nyebut dan memuji beliau. Semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati Abu Abdirrahman, ia telah berhaji sebanyak 40 kali.” [Siyar A’lam an-Nubala’ 5/45]


Dari Dawud bin Ibrahim rahimahullaah, ia menceritakan bahwa suatu hari seekor singa menghalangi jalan kaum muslimin. Seluruh manusia melakukan ronda di malam tersebut dan di waktu sahur singa tersebut baru meninggalkan tempat tersebut, maka semua manusia –baik di kanan maupun di kiri- merebahkan tubuh-tubuh mereka dan tertidur. Maka berdirilah Thawus untuk qiyamul lail (shalat malam), hingga ada seorang yang menegur beliau, “Apakah engkau tidak tidur, bukankah semalaman berjaga malam?” Thawus mengatakan, “Akankah seorang muslim tidur di waktu sahur seperti ini dan tidak ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla ... ??” [Hilyatul Auliya’ 4/14]


2. Dalam zuhud

Berkata Abu Ashim an-Nabil rahimahullaah, “Telah datang putra mahkota, yaitu putra dari Sulaiman bin Abdil Malik, ia datang dan duduk di dekat Thawus, namun beliau tidak menoleh kepdanya sedikit jpun. Lalu seseorang menegur beliau, “Telah datang di sisimu putra dari Amirul Mukminin, tetapi mengapa engkau tidak menoleh kepadanya ...?!” Beliau menjawab, “Aku ingin mengajarkan bahwa hendaknya seorang hamba bersikap zuhud dari apa yang ada di hadapannya.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 5/526)


Dari Abdullah bin Bisry, ia menceritakan bahwa Thawus al-Yamani memiliki dua jalan untuk menuju masjid, satu jalan melewati pasar dan ada satu jalan yang lain. Sehari ini beliau lewat jalan ini dan jalan yang lain pada hari berikutnya, apabila beliau memilih jalan yang melewati pasar hingga melihat kepala-kepala manusia tenggelam dalam dunia dan kehinaan, maka beliau tidak bisa tidur di malam harinya.” (Hilyatul Auliya’ 4/4)


Dari Ibnu Thawus rahimahullaah ia berkata, “Aku mengatakan kepada ayahku (Thawus) bahwa aku hendak menikahi seorang gadis, lalu beliau mengatakan, ‘Kalau begitu pergi dan lihatlah ia terlebih dahulu, lalu aku pun hendak pergi untuk nazhar, aku memakai pakaianku yang terbaik, aku berkeramas, dan berdandan sangat rapi, setelah itu beliau melihat kondisiku seperti ini tiba-tiba beliau mengatakan, ‘Duduklah dan jangan engkau pergi.’” (Hilyatul Auliya’ 4/10)


3. Dalam wara’

Beliau adalah seorang yang wara’ dalam berfatwa, tidak asal menjawab pertanyaan yang diajukan kepada beliau. Beliau sangat berhati-hati karena khawatir apa yang beliau fatwakan ternyata tidak sejalan dengan apa yang dikehendaki Allah ‘azza wajalla.


Dari Ayyub rahimahullaah ia berkata, “Ada seorang yang hendak bertanya tentang sesuatu masalah kepada Thawus, lalu beliau menghardiknya seraya mengatakan, ‘Sungguh ia hendak menjadikan di leherku tali yang aku diputar dengannya.’”


Berkata al-Hafizh rahimahullaah, “Telah berkata Amr bin Dinar, ‘Sungguh aku tidak melihat seseorang yang lebih wara’ dan menjaga diri dari sesuatu yang ada di tangan manusia, daripada Thawus.’”


Berkata Ibnu Abi Sufyan rahimahullaah, “Saya tidak melihat seorang alim yang lebih banyak mengucapkan kalimat ‘Aku tidak tahu masalah tersebut’, kecuali Thawus.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 5/526)


Berkata Sufyan bin Uyainah rahimahullaah, “Orang-orang yang selalu menjauhi kepemimpinan ada tiga: Abu Dzar di zamannya, Thawus di zamannya, dan Sufyan Ats-Tsauri di zaman beliau.” (Tahdzibul Kamal 5/10)


BEBERAPA PERKATAAN MUTIARA BELIAU

Dari Abu Najih dari bapaknya, bahwa Thawus rahimahullaah berkata kepadanya, “Barangsiapa yang berbicara tentang kebaikan dan ia bertakwa kepada Allah ‘azza wajalla, lebih baik daripada seorang yang diam dan bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 5/526)


Dari Ibnu Thawus dari bapaknya (Thawus rahimahullaah), ia berkata, “Bakhil adalah seorang menahan harta miliknya sendiri, adapun syuh adalah seorang mengharapkan harta milik orang lain dengan cara yang haram.” (Hilyatul Auliya’ 4/6)


Dari Thawus rahimahullaah, ia berkata, “Tidaklah seorang anak Adam berbicara kecuali Allah ‘azza wa jalla akan menghisabnya, sampaipun rintihannya tatkala sakit.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 5/43)


Thawus rahimahullaah, beliau mengatakan, “Tidak sempurna ibadah/sembelihan seorang pemuda sampai dia menikah.” (Siyar A’lamu an-Nubala’ 5/526)


Beliau meninggal dunia pada tahun 100 H. Semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati Thawus bin Kaisan dan menempatkan beliau di tempat yang tinggi dan mulia di sisi-Nya. Aamiin.


MUTIARA TELADAN

Beberapa catatan penting dari perjalanan hidup beliau yang hendaknya menjadi qudwah (teladan) bagi kita adalah:


  • Seorang muslim diajari untuk saling menasihati demi kebaikan dunia dan akhirat. Nasihat tetap diberikan sampaipun kepada orang yang lebih tinggi kedudukannya daripada, tentunya dengan cara-cara yang baik tanpa harus menghinakan atau merendahkan kedudukannya.

  • Merupakan sifat baik para as-salah ash-shalih –yang hampir-hampir sifat itu hilang di zaman kita- adalah sifat wara’ dan zuhud terhadap dunia. Sifat itu akan benar-benar tampak pada diri seorang muslim bila ia memahami dengan baik hakikat sebuah kehidupan, bahwa kehidupan yang sebenarnya –yang hakiki dan kekal- adalah kehidupan akhirat, bukan kehidupan dunia, sehingga apapun mereka korbankan demi mendapat kebaikan akhirat sekalipun harus merasakan payah tatkala di dunia.


Semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati Thawus bin Kaisan dan para as-salaf ash-shalih yang telah mengajari kita untuk selalu mendalami ilmu agama, mengajarkan dan mendakwakan kepada orang lain, sebagai mana ini adalah tugas setiap nabi dan rasul dan juga tugas setiap muslim sesuai dengan kadar kemampuan yang diberikan Allah ‘azza wa jalla. Maka dalam setiap perbuatan, mereka mengawalinya dengan ilmu dan mengakhirinya dengan ilmu pula.
Wallaahu a’lamu bish shawab.

Ustadz Abu Faiz –hafizhahullaah di Majalah al-Furqon ed 6 tahun ke-11

No comments

Powered by Blogger.