Header Ads

Muhasabah Catatan Perjalanan Manusia Menuju Akhirat

Oleh: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A

Hari akhirat, hari setelah kematian yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal perbuatan manusia, hari perhitungan yang sempurna, hari ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi sewaktu di dunia, hari yang pada waktu itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata dengan penuh penyesalan,
يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

“Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini.” (QS. al-Fajr: 24).

Maka, seharusnya setiap muslim yang mementingkan keselamatan dirinya benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal abadi ini. Karena pada hakikatnya, hari inilah masa depan dan hari esok manusia yang sesungguhnya, yang kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring dengan cepat berlalunya usia manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr: 18).

Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Qatadah([1]) berkata, “Senantiasa Tuhanmu (Allah) mendekatkan (waktu terjadinya) hari Kiamat, sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok.”([2])

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang mengingatkan hal ini dalam ucapannya yang terkenal, “Hisab-lah (introspeksilah) dirimu (saat ini), sebelum kamu di-hisab (diperiksa/ dihitung amal perbuatanmu pada hari Kiamat), dan timbanglah dirimu (saat ini) sebelum (amal perbuatan)mu ditimbang (pada hari Kiamat), karena sesungguhnya akan mudah bagimu (menghadapi) hisab besok (hari Kiamat) jika kamu (selalu) mengintrospeksi dirimu saat ini, dan hiasilah dirimu (dengan amal shalih) untuk menghadapi (hari) yang besar (ketika manusia) dihadapkan (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala),
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ

“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi-Nya).” (QS. al-Haaqqah: 18)([3]).

Senada dengan ucapan di atas sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya, dunia telah pergi meninggalkan (kita), sedangkan akhirat telah datang di hadapan (kita), dan masing-masing dari keduanya (dunia dan akhirat) memiliki pengagum, maka jadilah kamu orang yang mengagumi/ mencintai akhirat dan janganlah kamu menjadi orang yang mengagumi dunia, karena sesungguhnya saat ini (waktunya) beramal dan tidak ada perhitungan, adapun besok (di akhirat) adalah (saat) perhitungan dan tidak ada (waktu lagi untuk) beramal.”([4])

Jadilah Kamu di Dunia Seperti “Orang Asing”


Dunia tempat persinggahan sementara dan sebagai ladang akhirat tempat kita mengumpulkan bekal untuk menempuh perjalanan menuju negeri yang kekal abadi itu. Barangsiapa yang mengumpulkan bekal yang cukup, maka dengan izin Allah dia akan sampai ke tujuan dengan selamat, dan barangsiapa yang bekalnya kurang, maka dikhawatirkan dia tidak akan sampai ke tujuan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sikap yang benar dalam kehidupan di dunia dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.”([5])

Hadits ini merupakan bimbingan bagi orang yang beriman tentang bagaimana seharusnya dia menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia. Karena orang asing (perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang yang hanya tinggal sementara dan tidak terikat hatinya kepada tempat persinggahannya, serta terus merindukan untuk kembali ke kampung halamannya. Demikianlah keadaan seorang mukmin di dunia yang hatinya selalu terikat dan rindu untu kembali ke kampung halamannya yang sebenarnya, yaitu Surga tempat tinggal pertama kedua orang tua kita, Adam ‘alaihissalam dan istrinya Hawa, sebelum mereka berdua diturunkan ke dunia.

Dalam sebuah nasihat tertulis yang disampaikan Imam Hasan al-Bashri kepada Imam Umar bin Abdul ‘Aziz, beliau berkata, “…Sesungguhnya, dunia adalah negeri perantauan dan bukan tempat tinggal (yang sebenarnya), dan hanyalah Adam ‘alaihissalam diturunkan ke dunia ini untuk menerima hukuman (akibat perbuatan dosanya)…”([6])

Dalam mengungkapkan makna ini, Ibnul Qayyim berkata dalam bait syairnya,
Marilah (kita menuju) Surga ‘Adn (tempat menetap) karena sesungguhnya itulah #

Tempat tinggal kita yang pertama, yang di dalamnya terdapat kemah (yang indah)

Akan tetapi kita (sekarang dalam) tawanan musuh (setan), maka apakah kamu melihat #

Kita akan (bisa) kembali ke kampung halaman kita dengan selamat?([7])

Sikap hidup ini menjadikan seorang mukmin tidak panjang angan-angan dan terlalu muluk dalam menjalani kehidupan dunia, karena “barangsiapa yang hidup di dunia seperti orang asing, maka dia tidak punya keinginan kecuali mempersiapkan bekal yang bermanfaat baginya ketika kembali ke kampung halamannya (akhirat), sehingga dia tidak berambisi dan berlomba bersama orang-orang yang mengejar dunia dalam kemewahan (dunia yang mereka cari), karena keadaanya seperti seorang perantau, sebagaimana dia tidak merasa risau dengan kemiskinan dan rendahnya kedudukannya di kalangan mereka.”([8])

Makna inilah yang diisyaratkan oleh sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika beliau berkata, “Jika kamu (berada) di waktu sore, maka janganlah tunggu datangnya waktu pagi, dan jika kamu (berada) di waktu pagi, maka janganlah tunggu datangnya waktu sore, serta gunakanlah masa sehatmu (dengan memperbanyak amal shalih sebelum datang) masa sakitmu, dan masa hidupmu (sebelum) kematian (menjemputmu).” ([9])

Bahkan, inilah makna zuhud di dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya, “Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)?” Beliau berkata, “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata, ‘Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.’”([10])

Berbekallah, dan Sungguh Sebaik-baik Bekal Adalah Takwa


Sebaik-baik bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti “menjadikan pelindung antara diri seorang hamba dengan siksaan dan kemurkaan Allah yang dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu (dengan) melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.”([11])

Maka, sesuai dengan keadaan seorang hamba di dunia dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan perbuatan maksiat, begitu pula keadaannya di akhirat kelak. Semakin banyak dia berbuat baik di dunia semakin banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di akhirat nanti, yang berarti semakin besar pula peluangnya untuk meraih keselamatan dalam perjalanannya menuju surga.

Inilah di antara makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, “Setiap orang akan dibangkitkan (pada hari Kiamat) sesuai dengan (keadaannya) sewaktu dia meninggal dunia.“([12]) Artinya: dia akan mendapatkan balasan pada hari kebangkitan kelak sesuai dengan amal baik atau buruk yang dilakukannya sewaktu di dunia.([13])

Landasan utama takwa adalah dua kalimat syahadat “Laa ilaaha illallah” dan “Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Oleh karena itu, sebaik-baik bekal yang perlu dipersiapkan untuk selamat dalam perjalanan besar ini adalah memurnikan tauhid (mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam beribadah dan menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna syahadat Laa ilaaha illallah dan menyempurnakan al-ittibaa’ (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perbuatan bid’ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka dari itu, semua peristiwa besar yang akan dialami manusia pada hari Kiamat nanti, Allah akan mudahkan bagi mereka dalam menghadapinya sesuai dengan pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua landasan utama Islam ini sewaktu di dunia.

Fitnah (ujian keimanan) dalam kubur yang merupakan peristiwa besar pertama yang akan dialami manusia setelah kematiannya, mereka akan ditanya oleh dua malaikat Munkar dan Nakir([14]) dengan tiga pertanyaan: “Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Dan siapa nabimu?”([15]). Allah hanya menjanjikan kemudahan dan keteguhan iman ketika mengahadapi ujian besar ini bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkan dua landasan Islam ini dengan benar, sehingga mereka akan menjawab, “Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.([16])

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27).

Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Al-Bara’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir), maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha Illallah) dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya, {Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat}.”([17])

Termasuk peristiwa besar pada hari Kiamat, mendatangi telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kemuliaan, warna airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, dan baunya lebih harum daripada minyak wangi misk (kasturi), barangsiapa yang meminum darinya sekali saja, maka dia tidak akan kehausan selamanya.([18])

Dalam hadits yang shahih([19]) juga disebutkan, bahwa ada orang-orang yang dihalangi dan diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Karena mereka sewaktu di dunia berpaling dari petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemahaman dan perbuatan bid’ah, sehingga di akhirat mereka dihalangi dari kemuliaan meminum air telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka.

Imam Ibnu Abdil Barr([20]) berkata, “Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridhai Allah dalam agama ini akan diusir dari telaga Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari Kiamat nanti), dan yang paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah) yang menyelisihi (pemahaman) jamaah kaum muslimin, seperti orang-orang Khawarij, Syi’ah Rafidhah dan para pengikut hawa nafsu, demikian pula orang-orang yang berbuat zalim yang melampaui batas dalam kezaliman dan menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan, semua mereka ini dikhawatirkan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).([21])

Demikian pula termasuk peristiwa besar pada hari Kiamat, melintasi ash-shiraath (jembatan) yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam, di antara Surga dan Neraka. Dalam hadits yang shahih([22]) disebutkan, bahwa keadaan orang yang melintasi jembatan tersebut bermacam-macam sesuai dengan amal perbuatan mereka sewaktu di dunia. “Ada yang melintasinya secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda pacuan yang kencang, ada yang secepat menunggang unta, ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang merangkak, dan ada yang disambar dengan pengait besi, kemudian dilemparkan ke dalam Neraka Jahannam.”([23]) –na’uudzu billahi min daalik–.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin ketika menjelaskan sebab perbedaan keadaan orang-orang yang melintasi jembatan tersebut, beliau berkata, “Ini semua (tentu saja) bukan dengan pilihan masing-masing orang, karena kalau dengan pilihan (sendiri) tentu semua orang ingin melintasinya dengan cepat, akan tetapi (keadaan manusia sewaktu) melintasi (jembatan tersebut) adalah sesuai dengan cepat (atau lambatnya mereka) dalam menerima (dan mengamalkan) syariat Islam di dunia ini; barangsiapa yang bersegera dalam menerima (petunjuk dan sunnah) yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diapun akan cepat melintasi jembatan tersebut, dan (sebaliknya) barangsiapa yang lambat dalam hal ini, maka diapun akan lambat melintasinya; sebagai balasan yang setimpal, dan balasan (perbuatan manusia) adalah sesuai dengan jenis perbuatannya.”([24])

Balasan Akhir yang Baik (Surga) Bagi Orang-orang yang Bertakwa


Akhirnya, perjalanan manusia akan sampai pada tahapan akhir; Surga yang penuh kenikmatan, atau Neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Di sinilah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan balasan yang sempurna bagi manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَأَمَّا مَنْ طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى، وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya Nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. an-Naazi’aat: 37-41).

Maka, balasan akhir yang baik hanyalah Allah peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan membekali dirinya dengan ketaatan kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang menyimpang dari agama-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (Surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Qashash: 83).

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “…Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka konsekuensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka (sewaktu di dunia) selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shalih, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (Surga dari Allah Subhanahu wa Ta’ala).”([25])

Penutup


Setelah kita merenungi tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal yang cukup supaya selamat dalam perjalanan tersebut? Kalau jawabannya: belum; maka jangan putus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan memperbaiki segala kekurangan kita –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala–. Caranya, bersegeralah untuk kembali dan bertobat kepada Allah, serta memperbanyak amal shalih pada sisa umur kita yang masih ada. Dan semua itu akan mudah bagi orang yang Allah berikan taufik dan kemudahan baginya.

Imam Fudhail bin ‘Iyaadh([26]) pernah menasihati seseorang lelaki, beliau berkata, “Berapa tahun usiamu (sekarang)?” Lelaki itu menjawab, “Enam puluh tahun.” Fudhail berkata, “(Berarti) sejak enam puluh tahun (yang lalu) kamu menempuh perjalanan menuju Allah dan (mungkin saja) kamu hampir sampai.” Lelaki itu menjawab, “Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.” Maka, Fudhail berkata, “Apakah kamu paham arti ucapanmu? Kamu berkata, ‘Aku (hamba) milik Allah dan akan kembali kepada-Nya’, barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya pada hari Kiamat nanti), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya) maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya selama di dunia), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya), maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya.” Maka, lelaki itu bertanya, “(Kalau demikian) bagaimana caranya (untuk menyelamatkan diri ketika itu)?” Fudhail menjawab, “(Caranya) mudah.” Leleki itu bertanya lagi, “Apa itu?” Fudhail berkata, “Engkau memperbaiki (diri) pada sisa umurmu (yang masih ada), maka Allah akan mengampuni (perbuatan dosamu) di masa lalu, karena jika kamu (tetap) berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih ada), kamu akan di siksa (pada hari Kiamat) karena (perbuatan dosamu) di masa lalu dan pada sisa umurmu.”([27])

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ([28]) untuk kebaikan agama, dunia dan akhirat kita:

      Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua urusanku, dan perbaikilah (urusan) duniaku yang merupakan tempat hidupku,

serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku (selamanya),

jadikanlah (masa) hidupku sebagai penambah kebaikan bagiku,

dan (jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku dari semua keburukan.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 20 Shafar 1430 H

Sumber: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A

([1]) Beliau adalah Qatadah bin Di’aamah as-Saduusi al-Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 409).

([2]) Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfan (hal. 152-Mawaaridul Amaan).

([3]) Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab beliau Az Zuhd (hal. 120), dengan sanad yang hasan.

([4]) Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Az Zuhd (hal. 130) dan dinukil oleh Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 461).

([5]) HSR. al-Bukhari (no. 6053).

([6]) Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfaan (hal. 84 – Mawaaridul Amaan).

([7]) Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/9-10), juga dinukil oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 462).

([8]) Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 461), dengan sedikit penyesuaian.

([9]) Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam kitab Shahihul Bukhari (no. 6053).

([10]) Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 465).

([11]) Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 196).

([12]) HSR. Muslim (no. 2878).

([13]) Lihat penjelasan al-Munaawi dalam kitab beliau Faidhul Qadiir (6/457).

([14]) Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat at-Tirmidzi (no. 1083) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahiihah (no. 1391).

([15]) Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Ahamad (4/287-288), Abu Dawud (no. 4753) dan al-Hakim (1/37-39), dinyatakan shahih oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

([16]) Ibid.

([17]) HSR. al-Bukhari (no. 4422), hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 2871).

([18]) Semua ini disebutkan dalam hadits yang shahih riwayat Imam al-Bukhari (no. 6208) dan Muslim (no. 2292). Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang dimudahkan minum darinya.

([19]) Riwayat Imam al-Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

([20]) Beliau adalah Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr an-Namari al-Andalusi (wafat 463 H), Syaikhul Islam dan imam besar Ahlus Sunnah dari wilayah Maghrib, penulis banyak kitab hadits dan fikih yang sangat bermanfaat. Biografi beliau dalam kitab Tadzkiratul Huffaazh (3/1128).

([21]) Kitab Syarh az-Zarqaani ‘Ala Muwaththa-il Imaami Maalik (1/65).

([22]) Riwayat Imam al-Bukhari (no. 7001) dan Muslim (no. 183) dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyalahu ‘anhu

([23]) Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al-Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 20).

([24]) Kitab Syarhul Aqiidatil Waasithiyyah (2/162).

([25]) Kitab “Taisiirul kariimir Rahmaan fi tafsiiri kalaamil Mannaan” (hal. 453).

([26]) Beliau adalah Fudhail bin ‘Iyaadh bin Mas’uud At Tamimi (wafat 187 H), seorang imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r dan seorang ahli ibadah (lihat kitab “Taqriibut tahdziib”, hal. 403).

([27]) Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 464).

([28]) Dalam HSR. Muslim (no. 2720) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

3 comments:

  1. assalamu alaikum warahmatulloh wabarokatuh,
    af1 ana minta risalah kajian salaf ini bisa di posting ke e-mail ana

    ReplyDelete
  2. Abu m. hammam kiryaniMarch 13, 2013 at 9:53 PM

    assalmu'alaikum

    mohon dengan sangat kepada kajian salaf, kalau menukil/copas makalah dan artikel mencantumkan nama lengkap penyusun atau penulisnya sebagaimana awalnya. afwan tulisan ( sekilas kenikmatan syurga ) ana yang menyusun, yang judul aslinya sekelumit indahnya syurga dan methode dalam menggapainya ) dan sumber makalah tersebut dari minhajuljannah.co.cc. syukron

    wassalamu'alaikum

    ReplyDelete

Powered by Blogger.