Header Ads

Mengulas Adab dalam Bertanya di Majelis Ilmu

Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allâh Ta'âla dalam firmanNya:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ43

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS An Nahl/16 : 43)
Demikian pula Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam mengajarkan, bahwa obat kebodohan yaitu dengan bertanya, sebagaimana sabda beliau:
أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ

“Tidakkah mereka bertanya, ketika mereka tidak tahu? Sesungguhnya obat ketidak mengertian adalah bertanya.” (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi dan dishahihkan Syeikh Salim Al Hilali dalam Tanqihul Ifadah Al Muntaqa Min Miftah Daris Sa’adah, hal. 174)
Imam Ibnul Qayim rahimahullâh berkata:
”Ilmu memiliki enam martabat. Yang pertama, baik dalam bertanya …… Ada di antara manusia yang tidak mendapatkan ilmu, karena tidak baik dalam bertanya. Adakalanya, karena tidak bertanya langsung. Atau bertanya tentang sesuatu, padahal ada yang lebih penting. Seperti bertanya sesuatu yang tidak merugi jika tidak tahu dan meninggalkan sesuatu yang mesti dia ketahui.” (Miftâh Dâris Sa’âdah 1/169)
Demikian juga Al Khathib Al Baghdadi rahimahullâh memberikan pernyataan:
”Sepatutnyalah rasa malu tidak menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang dialaminya.” (Al Faqîh Wal Mutafaqqih: 1/143)
Oleh karena itu perlu dijelaskan beberapa adab yang harus diperhatikan dalam bertanya, diantaranya:

  1. Bertanya perkara yang tidak diketahuinya dengan tidak bermaksud menguji.
    Hal ini dijadikan syarat oleh Allâh Ta'âla dalam firman-Nya di atas (QS An Nahl/16 : 43).
    Dalam ayat ini Allâh Ta'âla menyebutkan syarat dalam mengajukan pertanyaan adalah karena tidak tahu. Sehingga seseorang yang tidak tahu bertanya sampai diberi tahu. Namun demikian seseorang yang telah mengetahui suatu perkara diperbolehkan bertanya tentang perkara tersebut, dengan tujuan untuk memberikan pengajaran kepada orang yang ada di majelis tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Jibril 'alaihissalam kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dalam hadits Jibril yang masyhur.

  2. Tidak boleh menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan, yang jawabannya dapat menyusahkan penanya atau menyebabkan kesulitan bagi kaum muslimin.
    Hal ini dinyatakan oleh Allâh Ta'âla dalam firman-Nya:
    وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ ۗ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ101

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allâh mema’afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS Al Mâidah : 101)
    Dan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam juga bersabda:
    «إِنَّ أَعْظَمَ المُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ»

    “Seorang Muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan karena pertanyaannya.“ (Riwayat Bukhâri, Muslim, Abu Daud dan Ahmad)

    Oleh karena itulah para sahabat dan tabi’in tidak suka bertanya tentang sesuatu kejadian sebelum terjadi.
    Rabî’ bin Khaitsam rahimahullâh berkata: “Wahai Abdullâh, apa yang Allâh berikan kepadamu dalam kitabnya (ilmu) maka syukurilah, dan yang Allâh tidak berikan kepadamu, maka serahkanlah kepada orang ‘alim dan jangan mengada-ada. Karena Allâh Ta'âla berfirman kepada NabiNya:
    86قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ

    87إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ

    88وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ

    Katakanlah (hai Muhammad): ”Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur’an ini, tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur’an setelah beberapa waktu lagi”.
    (QS Shâd : 86-88) (Jâmi’ Bayânil ‘ilmi Wa Fadhlihi: 2/136)

  3. Diperbolehkan bertanya kepada seorang ‘alim tentang dalil dan alasan pendapatnya.
    Hal ini disampaikan Al Khathib Al Baghdadi rahimahullâh dalam Al Faqih Wal Mutafaqqih 2/148:
    “Jika seorang ‘alim menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah jawabannya berdasarkan dalil ataukah pendapatnya semata”.

  4. Diperbolehkan bertanya tentang ucapan seorang ‘alim yang belum jelas.
    Hal ini berdasarkan dalil hadits Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
    صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً، فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًا حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ ، قُلْنَا: وَمَا هَمَمْتَ؟ قَالَ: هَمَمْتُ أَنْ أَقْعُدَ وَأَذَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

    “Saya shalat bersama Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, lalu beliau memanjangkan shalatnya sampai saya berniat satu kejelekan. Kami bertanya kepada Ibnu Mas’ud: “Apa yang engkau niatkan?” Beliau menjawab: “Saya ingin duduk dan meninggalkannya”. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

  5. Jangan bertanya tentang sesuatu yang telah engkau ketahui jawabannya, untuk menunjukkan kehebatanmu dan melecehkan orang lain.

  6. Tidak mengadu domba di antara ahli ilmu seperti mengatakan: Tapi ustadz fulan (dengan menyebut namanya) mengatakan demikian.
    Maka yang demikian termasuk kurang beradab. Kalau memang harus bertanya, maka hendaklah mengatakan: "Apa pendapatmu tentang ucapan ini?" Tanpa menyebut nama orang yang mengucapkan....
    (Lihat Hilyah Thalibil Ilmi, Syaikh Bakr Abu Zaid dengan syarh Syaikh 'Utsaimin, hal: 178).


Penulis: Ust. Abu Ya’la Hizbul majid.

No comments

Powered by Blogger.